Modernis.co, Malang – Secara umum, Indonesia dewasa ini sedang mengalami berbagai krisis. Selain sedang mengalami krisis ekonomi, tanah air kita pun sedang dilanda krisis moral, mental, dan spiritual.
Sayangnya, kebanyakan objek dan sekaligus penyebab krisis tadi adalah para perempuan, mulai kasus pornografi, komersialisasi seks, pamer tubuh (iklan), tarian erotis, dan banyak hal lain yang sasaran utama dan umpannya adalah perempuan.
Sebagaimana perempuan dapat menjadi sumber daya jitu untuk memperbaiki sebuah masyarakat, ia pun dapat menjadi sarana jitu untuk merusak dan menghancurkan sebuah masyarakat. Bagaimana tidak, perempuan pada hari ini terkungkung dalam mitos kecantikan.
Mitos kecantikan digunakan sebagai senjata politik untuk menghambat kemajuan kaum perempuan, mereka disuguhkan melalui berbagai macam media; iklan televisi, majalah-majalah kecantikan, sehingga itu berakibat perempuan tidak mampu untuk mengambil peran penuh dalam problematika kebangsaan yang terjadi.
Ini kita bisa lihat para perempuan yang berada di senayan, seberapa jauh peran mereka mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh dewan yang sarat akan bias gender? misalnya.
Dalam sepanjang sejarah perempuan telah berjuang untuk mendapatkan hak-haknya. Namun sekarang, kembali mereka terjerumus ke dalam penjajahan yaitu berupa penjajahan modern. Perempuan menganggap dirinya merdeka di saat dapat memamerkan tubuh moleknya untuk dinikmati laki-laki hidung belang.
Perempuan sekarang telah lupa akan hakikat dirinya, hanya menonjolkan kecantikan wajah dan kemolekan tubuhnya. Lantas mana esensinya sebagai seorang manusia? Lantas apa yang dapat diharapkan dari para perempuan seperti ini? Ini merupakan salah satu tugas perempuan sebagai anggota masyarakat untuk kembali mengingatkan sesama kaumnya.
Lisan perempuan akan lebih dapat mengena ke dalam sanubari mereka dibanding lisan pihak lain, untuk mengembalikan identitas mereka sebagai manusia. Perempuan pada hari ini sudah kehilangan identitas, karakter, jati diri mereka sebagai perempuan, mungkin karena beberapa faktor sehingga hal tersebut terjadi; yaitu karna perempuan terjangkit penyakit hedonis yang diperbudak oleh pola pikir materialistis dan pragmatis.
Serta perempuan selalu dikonstruk untuk selalu mengurusi urusan domestik, bisa kita lihat bagaimana representatif perempuan di iklan deterjen misalnya, perempuan divisualisasikan sebagai istri yang selalu menyiapkan keperluan rumah tangga.
Kala sang suami pergi kerja dan sang anak pergi ke sekolah, sang istri kembali ke pekerjaan rumahnya mencuci piring, mencuci pakaian suami dan anak, itu pun noda yang tertempel di pakaian sang suami adalah noda tinta kantor, sedangkan noda di pakaian sang anak adalah noda lumpur karena bermain bola, yang notabenenya kedua noda tersebut dari aktivitas publik.
Ini jauh berbeda ketika kita bandingkan dengan noda yang menempel di pakaian sang istri yaitu noda-noda karna memasak, dalam artian noda karena aktivitas domestik, dan hal ini disuguhkan kepada masyarakat setiap hari, sehingga masyarakat menganggap hal itu sesuatu yang lumrah atau biasa.
Padahal perempuan seharusnya mampu untuk menjadi tonggak peradaban, baik dalam ranah privat maupun ranah publik; pertama, perempuan sebagai sekolah pertama bagi anaknya. Nabi Ibrahim a.s memiliki seorang bapak yang sangat jahat, bukan hanya menyembah berhala malah dia yang membuat berhala namanya azar, tapi ibunya seorang yang sholehah namanya umaila, apa maknanya?
Bapak boleh brengsek, bapaknya boleh jahat, bapaknya boleh nakal, tapi kalau ibunya sholehah maka akan lahir anak yang mampu membawa perubahan, kita ketahui bersama bahwa Ibrahim a.s adalah seorang nabi yang dikenal sebagai bapak tauhid bagi umat Islam.
Tapi kalau bapaknya nabi (Nuh a.s), istrinya tidak sholehah maka lahirlah anak yang bernama Kan’an, dia tidak hanya durhaka kepada bapaknya tetapi juga durhaka kepada Tuhannya. Alangkah indahnya Al-Qur’an menggambarkan bagaimana pentingnya peran perempuan dalam ranah rumah tangga.
Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah, dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersyukur. (Al-A’raf : 58).
Tanah yang baik akan melahirkan bunga-bunga yang baunya harum semerbak, mawar misalnya. Sedangkan tanah yang yang tidak subur hanya bisa tumbuh kaktus, baunya tidak harum berduri pula. Baik buruknya akhlak sang anak, baik buruknya perangai sang anak, baik buruknya karakter sang anak tergantung dari sholehah tidaknya seorang ibu, artinya seorang ibu memiliki peranan yang sangat penting di dalam keluarga.
Kedua, perempuan mampu untuk mengambil peran di ranah publik. Sejarah pernah mencatat bahwa Mesir Kuno pernah dinahkodai oleh seorang ratu yang bernama Cleopatra (51-30 SM) yang terkenal dengan perempuan yang kuat, “ganas”, dan cerdas, dengan kecerdasannyalah dia mampu membangun peradaban di Mesir.
Selain itu, sejarah pun pernah mencatat perempuan yang bernama Balqis pernah menakhodai sebuah kerajaan di negeri Saba’. Balqis merupakan sosok ratu yang cerdas, cantik, dan memiliki jiwa kepemimpinan.
Sosok wanita yang memiliki pengaruh besar dalam dunia politik pada zaman kenabian. Wanita ini tercatat dalam sejarah Islam sebagai wanita pertama yang memimpin sebuah kerajaan. Wilayahnya terbentang dari Yaman hingga Ethiopia. Kecerdasan dan kearifannya dalam memimpin bisa kita lihat bagaimana dia mampu menjadikan Saba’ sebagai negeri yang baik. Hal itu termaktub di dalam al-Qur’an;
Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan yang maha pengampun.” (QS. Saba’ : 15).
Terlepas dari pro-kontra perempuan boleh menjadi pemimpin atau tidak, ayat tersebut menjelaskan bahwa pemimpin yang sukses tidak mesti hanya dari kalangan pria, tetapi kisah Al-Quran di atas membuktikan adanya seorang perempuan, yakni Ratu Balqis, yang berhasil menahkodai Negeri Saba’, Allah SWT memberi penghargaan kepada Ratu Balqis kepemimpinannya termaktub dalam Al-Qur’an.
Dari dua sosok perempuan tersebut kita akan mengetahui bahwa hakikatnya seorang perempuan ketika mampu memadukan antara tugas dia sebagai ibu dalam ranah domestik, dengan tugas dia sebagai khalifah dalam ranah publik maka ia akan mampu mewujudkan peradaban yang hakiki. Akan tetapi, hari ini terjadi paradoks di tengah-tengah masyarakat antara ia sebagai ibu rumah tangga dengan ia berkarir dalam ranah publik.
Ketika perempuan lebih memilih mengurusi rumah tangga maka ia merasa sia-sia telah menuntut ilmu sampai universitas, sedangkan ketika dia lebih memilih untuk bekerja, resikonya anak akan dititipkan pada pembantu atau baby sister, karena di tempat kerjanya tidak disediakan tempat penitipan anak dan ruang khusus menyusui, sehingga sang ibu bisa bercengkrama dengan sang anak atau menyusuinya ketika jam istirahat.
Hal itu berakibat sang anak akan dididik sama pembantunya atau baby sitternya yang masih berpendidikan rendah. Padahal dalam psikologi, pada fase-fase awal sang anak sangat membutuhkan perhatian dari orang tuanya terutama sang ibu, karena pada fase tersebutlah sangat efektif dalam pembentukan karakter sang anak.
Oleh sebab itu, sangat dibutuhkannya peran dari pemerintah untuk menyelesaikan problem tersebut, sehingga para perempuan tidak lagi disuguhkan dengan dua pilihan yang membingungkan. Dalam menjalankan tugasnya, perempuan tidak bisa jalan sendiri.
Ia membutuhkan sosok laki-laki sebagai mitra berjuang, sekaligus penasehat langkah. Ketika harmonisasi peran antara laki-laki dan perempuan terjadi, selama ia tidak keluar dari kodratnya sebagai perempuan, maka bisa dipastikan mereka akan mampu berkolaborasi membangun sebuah peradaban utama dalam masyarakat.
Karena sesungguhnya Allah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap laki-laki dan perempuan untuk bertakwa dan bermanfaat bagi orang lain. Semoga akan lahir benih-benih kesadaran baru dalam tiap jiwa perempuan. Lalu, ia menjadi cahaya peradaban dalam masyarakat.
Oleh: Zaky Ma’ruf, S.H., (Kabid RPK PC IMM Malang Raya).